HOME

Kamis, 03 Juni 2010

KATA-KATA KEHIDUPAN

Foto ini saya bidik ketika pulang dari Singaraja, Bali Utara, menuruni jalan tepi bukit di atas danau Buyan menuju Pancasari. Hati saya tergelitik oleh ulah seekor kera yang dengan sigap memanjat ke atas rambu unik Joger. Entah apa yang ia “pikirkan” tatkala memandang kepada tanda larangan membuang sampah sembarangan untuk orang sembarangan. Lagi-lagi saya belajar dari kera ini. Nampaknya tak cukup ampuh kalau manusia yang mengingatkan manusia untuk menjaga kelestarian lingkungan dengan tidak membuang sampah seenaknya ke tepi jalan, sampai-sampai binatang perlu campur tangan. Seakan-akan kera lebih peduli terhadap tanda larangan ini.

“KALAU ANDA BUKAN ORANG SEMBARANGAN, JANGANLAH BUANG-BUANG SAMPAH SEMBARANGAN !”

Teks Joger tersebut membuat saya jadi kembali berdiam diri dan merenung menelisik makna yang lebih dalam lagi.

Saya pun tersentak. Ternyata dalam keseharian ada hal yang kita “buang sembarangan” yang lebih berbau dan lebih berbahaya daripada sampah. Hal itu, tak lain adalah “berkata sembarangan” atau asal ngomong.


Banyak kejadian yang memilukan bermula dari salah ucap atau kadang memang disengaja, sehingga menyinggung perasaan orang di sampingnya dan berbuah kemarahan, dendam serta sakit hati.
Tidak semestinya kita berkata-kata sembarangan, apalagi marah atau mengutuk apabila kita merasa hakikat kita bukan orang sembarangan.

Saya tak habis pikir dengan suatu kejadian beberapa tahun yang silam. Nyoman, teman pemuda dari Legian tiba-tiba mendatangi saya sekitar pukul 8 malam dengan nada kesal dan meminta saya untuk menolongnya.

Saya pun dibawa ke sebuah apotik. Setiba di apotik, seorang ibu dan anak gadisnya, ternyata si empunya apotik, mencak-mencak dan menuding Nyoman sambil berkata-kata kasar. Bahkan mengumpat Nyoman sok pahlawan. Umpatan pun kemudian diarahkan kepada saya.

“Apa urusan saudara ke mari ?” teriak ibu itu ke arah saya.

Saya berdoa dalam hati supaya saya diberi ketenangan dan hikmat untuk menghadapi keganasan mulut sang ibu dan anak. Saya pun mulai menjelaskan setelah berhasil menyela. Saya katakan bahwa saya adalah pembimbing rohani pemuda Nyoman. Namun, belum selesai saya berkata, ibu itu pun, yang mengaku dirinya seorang dosen senior di sebuah fakultas universitas ternama, mengumpat kembali Nyoman sebagai mahasiswa yang tidak tahu diri.

“Lihat itu ! Itu mereka yang dia mau bela ! Mereka itu sudah salah !”

Saya menoleh ke samping belakang dan mendapatkan seorang bapak muda duduk di bangku tertunduk diam di samping istri yang memangku anak seumur empat tahun yang tertidur pulas. Nyoman mengatakan kepada saya, bahwa anak bapak itu telah menjatuhkan bagian timbangan badan yang telah rusak ketika mencoba menaikinya. Putri pemilik apotik menjadi marah dan melaporkan kepada ibunya.

Sang bapak yang tahu anaknya salah, mencoba meminta maaf dan mau mengganti kerugian sambil mengingatkan supaya timbangan rusak itu diberi tulisan peringatan. Hal ini kontan membuat ibu semakin marah dan menganggap bapak itu telah menghina harga dirinya sebagai orang ternama. Dia meminta KTP dan menahannya serta mau melaporkan mereka ke polisi. Kejadian tersebut terjadi pukul 6 petang. Jadi selama kurang lebih 2 jam mereka sudah diam di situ tanpa bisa berbuat apa-apa. Meminta maaf pun tidak diterima.

Saya memberanikan diri untuk meminta maaf. Pertama, untuk Nyoman yang telah dianggap mau jadi pahlawan untuk membebaskan keluarga tadi. Saya pikir, mungkin tadi Nyoman telah berkata-kata dengan emosi mau membebaskan mereka yang tertindas. Kedua, untuk keluarga muda itu, yang mungkin telah dianggap bersalah menjatuhkan bagian timbangan badan dan menjatuhkan harkat pemilik apotik.

Saya yakin Tuhan menolong. Walau saya tak henti-hentinya menerima kemarahan sang bunda, saya pun merasa lega ketika ibu itu mengeluarkan KTP yang ditahan dan menyerahkannya kembali dengan ucapan kasar. Kami pun memandang keluarga itu bangkit, meminta maaf kembali,
walau tidak ditanggapi, menerima KTP dan kemudian berbalik segera meninggalkan apotik. Sang bapak sempat berucap terima kasih kepada kami dengan nada pedih. Kami pun segera ikut menyusul diiringi teriak kemarahan sang putri pemilik apotik seakan-akan kemasukan roh kebencian.

Saya tak habis pikir, hanya karena “kata-kata” orang yang merasa sangat “bermartabat” malah dinilai sebaliknya. Semestinya orang yang bermartabat bukanlah "orang sembarangan yang membuang sampah sembarangan". Ternyata, berkata-kata memaafkan memang tidak mudah.

Efesus 4 : 29 :
“Janganlah ada perkataan kotor keluar dari mulutmu, tetapi pakailah perkataan yang baik untuk membangun, di mana perlu, supaya mereka yang mendengarnya, beroleh kasih karunia.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar